Jumat, 08 Juli 2011

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

Oleh : Abu MUDI H. Hasanoel Bashry HG.
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله المنفرد بالإيجاد. والصلاة والسلام على سيدنا محمد أفضل العباد. وعلى آله وأصحابه أولى البهجة و الرشاد. (وبعد)

Kaum muslimin pada masa Rasullullah SAW adalah umat yang satu, tidak terkotak-kotak dalam aneka kecenderungan, baik kabilah, paham keagamaan, ataupun visi sosial politik. Segala masalah yang muncul segera teratasi dengan turunnya wahyu dan disertai dengan pengarahan dari Rasullulah SAW. Walaupun tradisi kaum muslimin yang cukup dinamis dan terkendali pada waktu itu Rasulullah SAW telah memprediksi “kondisi nyaman” ini akan segera pudar sepeninggal beliau. Prediksi Rasullulah SAW itu terungkap dalam beberapa hadits, yang biasanya diawali dengan kata-kata “saya’ti ala ummati zaman” (umatku akan sampai pada suatu masa).
Setelah Rasullullah SAW wafat, prediksi beliau mulai tampak ke permukaan saat terjadinya perbedaan pandangan antara golongan Muhajirin dan Anshar. Tetapi prediksi itu segera teratasi, setelah mayoritas umat sepakat membaiat ash-Shiddiq Abu Bakar RA kemudian al-Faruq Umar bin Khattab RA kemudian dzun-Nuraini Utsman bin ‘Affan r.a dan terakhir Asadullah Ali bin Abi Thalib RA sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin yang mendapat gelar Khulafaur Rasyidin. Bukan berarti prediksii Rasulullah SAW pudar pada masa yang dikenal dengan era Khulafa al-.Rasyidin itu, tetapi hanya menunggu waktu.
Setelah Saiyidina Utsman RA wafat secara tragis dan naiknya Saiyidina Ali RA sebagai khalifah, sejarawan menilai sebagai titik kulminasi munculnya fraksi politik yang terpendam pada masa Saiyidina Abu Bakar RA dan Saiyidina Umar RA. Kejadian ini dikenal dengan Fitnah Kubra yang pertama. Inilah awal silang pandangan kaum muslimin sulit dipadamkan bahkan mengarah pada konfrontasi yang terus menerus.
Berangkat dari konfrontasi fitnah kubra I yang segera diikuti perang shiffin sebagai fitnah kubra II, kaum muslimin sudah sulit untuk disatukan kembali. Semua golongan yakin akan “kebenaran” golongannya dan terus mengembangkan dirinya dengan membangun tradisi intelektual dari semua lini disiplin ilmu keislaman yang berkembang. Landasan tradisi intelektual diatas, akhirnya semakin kokoh, setelah kaum muslimin berinteraksi dengan ragam budaya lokal, seperti Parsi, India, Asyuri, Finiqi, Zoroaster Masehi, Yahudi, dan yang paling menonjol adalah tradisi Hellenisme Yunani.
Perpecahan umat Islam akibat perbedaan haluan politik pada masa Shahabat melahirkan kelompok-kelompok dengan pengikutnya masing-masing. Perbedaan ini tidak hanya mencengkram ranah politik Islam, tetapi juga berdampak dalah masalah aqidah. Namun pada masa tersebut belum ada kelompok yang dijuluki sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah.

Defenisi  Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja)
Syekh Abu al-Fadl Abdusy-Syakur As-Sinuri dalam karyanya “Al-Kawakib al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thariqah para sahabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawuf).
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal. 80 mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan Jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Khulafa’ur-Rasyidin dan telah diberi hidayah Allah “.Dalam sebuah hadits dinyatakan :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتى على ثلاث وسبعين فرقة (رواه الترمذى)
“Dari Abi Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.(H.R.Turmuzi)
Dalam Hadis yang lain Rasulullah juga bersabda:
وإن بنى إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتى على ثلاث وسبعين ملة كلهم فى النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هى يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابى   (رواه الترمذى ) 
Sesungguhnya Bani Israel akan pecah menjadi 72 golongan dan pecah ummatku menjadi 73 golongan, semuanya dalam neraka kecuali satu golongan. Para shahabat berkata: “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. (HR. Turmudzi)
Jadi inti teologi (paham) Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:
..وسترون من بعدى اختلافا شديدا فعليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ… رواه احمد
“kalian akan melihat sesudahku perbedaan yang besar, maka kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku al-khulafa’ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk.’’ HR.Ahmad.

Kemunculan Istilah Golongan Aswaja
Paling mudah melacak periode awal kelahiran terminologi (istilah) Aswaja dimulai dengan lahirnya madzhab (tauhid) Al-Asy’ari[1] dan Al-Maturidi[2]. Tetapi kelahiran madzhab Aswaja di bidang kalam ini tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dari periode Saiyidina Ali bin Abi Thalib RA. Sebab dalam sejarah, tercatat para imam Aswaja di bidang aqidah telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW, sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Saiyidina Ali bin Abi Thalib RA, karena jasanya menentang penyimpangan khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan penyimpangan qadariyah tentang kehendak Allah SWT dan kemampuan makhluk. Di masa tabi’in juga tercatat ada beberapa imam Aswaja seperti ‘Umar bin Abdul Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi (tauhid) untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar” dan Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi tashihi an-Nubuwwah wa Raddi ‘ala al-Barahimah” .
Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa aqidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Imam Asy`ary dan Imam Maturidy tidaklah menciptakan satu pemahaman yang baru, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil  mengkodofikasi (menyusun) dan merumuskan ulang doktrin paham aqidah Aswaja secara sistematis yang sesuai dengan pemahaman para ulama terdahulu dan para sahabat Rasulullah sehingga menjadi pedoman aqidah Aswaja. Karena inilah Ahlussunnah dinisbahkan kepada kedua Ulama besar ini.[3]
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal aqidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar Al-Haytami (909-974 H/-1567 M) berkata  “para ulama mengatakan :
ان المراد باهل السنة حيث اطلقوا اتباع أبي الحسن الاشعري و ابي منصور الماتودري
Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi “.[4]
Imam Sayyid Muhammad Al Husainy Az Zabidy (1205 H) dalam kitabnya Ittihaf sadat Al Muttaqin juga mengatakan : [5]
اذا اطلق اهل السنة والجماعة فالمراد بهم الاشاعرة والماتوردية
Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tartytwuf adalah Imam Al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus islam paham Ahlussunnah wal jamaah.

Lahirnya Aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Secara faktual, tidak dapat dipungkiri bahwa awal mula terjadinya perpecahan masyarakat Islam dimulai dari Khalifah ‘Utsman bin Affan RA dan hampir melembaga pada periode Ali bin Abi Thalib KW. Perpecahan tersebut berlanjut pada persoalan aqidah. Perbedaan tersebut berlangsung terus menerus secara pasang surut, terkadang volumenya kecil, terkadang juga membesar. Pada masa Abbasiyah berkuasa, sebelum periode al-Mutawakkil, terjadi keresahan yang luar biasa (mihnah) di kalangan umat Islam, akibat pemaksaan paham aqidah Mu’tazilah oleh penguasa. Dalam situasi kacau dan resah itulah muncul Imam Abu Hasan al-Asy’ari menawarkan rumusan teologi sesuai dengan nash Qur’an dan hadits yang telah tersusun rapi. Kemudian oleh para ulama’ disepakati sebagai paham teologi ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Makin lama pengikut paham ini makin bertambah banyak. Sementara di daerah lain, yakni Samarqand, Uzbekistan, Imam Abu Manshur al-Maturidi, juga berhasil mengkodofikasi (menyusun) rumusan teologi yang paralel dengan rumusan Imam al-Asy’ari, semuanya mempunyai orientasi yang sama, yaitu menjawab persoalan-persoalan Islam yang sangat meresahkan pada waktu itu. Antara Asy`ariayh dan Maturidyah hanya terjadi perbedaan pada beberapa masalah yang tidak begitu mendasar dan tidak menafikan keduanya sebagai golongan Ahlussunnah.

Karakteristik Aswaja
Sangat penting untuk mengetahui bagaimana ciri-ciri golongan yang dikatakan Ahlussunnah Waljamaah. Dalam hal ini para ulama telah menggaris bawahi beberapa ciri-ciri kaum Ahlussunnah wahljamaah, diantaranya yaitu :
1.       Tentang ketuhanan :
a.    Meyakini bahwa Allah adalah tuhan yang esa yang berhak disembah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya yang tiada sama dengan makhluk.
b.    Zat Allah dapat dilihat dengan mata kepala dan orang-orang mukmin akan melihat-Nya dalam surga kelak.
c.    Segala sesuatu yang terjadi merupakan atas kehendak-Nya namun pada makhluk terdapat ikhtiyari.
d.    Menolak faham Tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk.
e.    Menolak faham Jabriyah (segala sesuatu atas kehendak Allah tanpa ikhtiayri dari makhluk)
f.     Menolak faham Qadariyah (segala sesuatu atas kehendak makhluk tanpa taqdir dari Allah)
2.       Tentang malaikat:
a.    Malaikat itu ada dan jumlahnya tidak terhingga. Setiap malaikat memiliki tugasnya masing-masing, mereka selalu taat kepada perintah Allah.
b.    Ummat islam hanya diwajibkan mengetahui sepuluh nama malaikat yang utama yang mempunyai tugasnya masing-masing.
c.    Sehubungan dengan keimanan tentang adanya malaikat, ummat islam juga diwajibkan meyakini adanya jin, iblis dan syaithan.
3.       Tentang kerasulan:
a.    Meyakini bahwa  semua Rasul adalah utusan-Nya yang diberikan mu`jizat kepada mereka sebagi tanda kebenaran mereka.
b.    Rasulullah SAW penutup segala Nabi dan Rasul yang diutus kepada bangsa arab dan bangsa lainnya, kepada manusia dan jin.
c.    Mencintai seluruh shahabat Rasulullah SAW
d.    Meyakini bahwa shahabat yang paling mulia adalah Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian Sayidina Umar kemudian Saiydina Utsman kemudian Saidina  Ali radhiyallahu ‘anhum.
e.    Menghindari membicarakan masalah permusuhan sesama sahabat kecuali untuk menerangkan kebenaran bagaiamana kaum muslimin menyikapinya.[6]
f.     Meyakini Ibunda dan Ayahanda Rasulullah SAW masuk surga berdasarkan firman Allah QS. Al-Isra’ ayat 15 :
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا (الإسراء : ١٥)
“dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra` : 15)
Kedua orang tua Nabi wafat pada zaman fatharah (kekosongan dari seorang Nabi/Rasul). Berarti keduanya dinyatakan selamat. Imam Fakhrurrozi menyatakan bahwa semua orang tua para Nabi muslim. Dengan dasar Al-Qur’an surat As-Syu’ara’ : 218-219 :
الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.
Sebagian Ulama’  mentafsiri ayat di atas bahwa cahaya Nabi berpindah dari orang yang ahli sujud (muslim) ke orang yang ahli sujud lainnya. Adapun Azar yang secara jelas mati kafir, sebagian ulama’ menyatakan bukanlah bapak Nabi Ibrohim yang sebenarnya tetapi dia adalah bapak asuhnya dan juga pamannya.
Jelas sekali Rasulullah SAW menyatakan bahwa kakek dan nenek moyang beliau adalah orang-orang yang suci bukan orang-orang musyrik karena mereka dinyatakan najis dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman  dalam At Taubah ayat 28
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”
4.       Tentang kitab:
a.    Al quran, Taurat, Injil, Zabur adalah kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai pedoman bagi ummat.
b.    Al Quran adalah kalam Allah dan bukan makhluk dan bukan sifat bagi makhluk.
c.    Tentang ayat mutasyabihat, dalam Ahlussunnah ada dua pandangan para ulama:

a.    Ulama salaf (ulama yang hidup pada masa sebelum 500 tahun hijryah) lebih memilih tafwidh (menyerahkan kepada Allah) setelah Takwil Ijmali (umum/global) atau dikenal juga dengan istilah tafwidh ma’a tanzih yaitu memalingkan lafahd dari arti dhahirnya setelah itu menyerahkan maksud dari kalimat tasybih itu kepada Allah.
b.    Ulama khalaf (Ulama pada masa setelah 500 Hijriyah) lebih memilih ta`wil yaitu menghamal arti kalimat dengan sebalik arti dhahirnya dengan menyatakan dan menentukan arti yang dimaksudkan dari kalimat tersebut.
Dalam menentukan langkahnya, Ulama Salaf dan Ulama Khalaf sama-sama berpegang pada surat: Ali Imran ayat: 7
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
<<وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (آل عمران : ٧)
“Artinya : Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-quran) kepada kamu, di antara (isi) nya ada ayat-ayat muhkamat (jelas maksudnya) itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (tidak difahami maksudnya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah (karena mereka tidak menyadari telah terjerumus dalam ayat mutasyabihat) dan untuk mencari-cari penafsirannya,”
[a]. >> dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata : "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan kami" dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS: Ali Imran. 7)
[b]. >> dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan kami" dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS: Ali Imran. 7)
·         Ulama Khalaf berpendapat bahwa kalimat الرَّاسِخُونَ di’athafkan kepada lafadh اللَّهُ dan jumlah يَقُولُونَ آَمَنَّا merupakan jumlah musta`nafah (permulaan baru) untuk bayan (menjelaskan) sebab iltimas takwil. Terjemahan [a] merupakan terjemahan berdasarkan pendapat Ulama Khalaf.
·         Ulama Salaf berpendapat bahwa kalimat الرَّاسِخُونَ merupakan isti`naf. Terjemahan [b] merupakan terjemahan berdasarkan pendapat Ulama Salaf.
5.       Tentang kiamat:
a.    Kiamat pasti terjadi,tiada keraguan sedikit pun.
b.    Meyakini adanya azab kubur.
c.    Kebangkitan adalah hal yang pasti.
d.    Surga adalah satu tempat yang disediakan untuk hamba yang dicintai-Nya.
e.    Neraka disediakan untuk orang-orang yang ingkar kepada-Nya.
f.     Meyakini adanya hisab (hari perhitungan amalan).
g.    Meyakini adanya tempat pemberhentian hamba setelah bangkit dari kubur.
h.    Meyakini adanya Syafaat Rasulullah, ulama, syuhada dan orang-orang mukmin lainnya menurut kadar masing-masing.
6.       Kewajiban ta`at kepada-Nya terhadap hamba-Nya adalah diketahui melalui lisan Rasul-Nya bukan melalui akal.
7.       Tidak mengatakan seseorang ahli tauhid dan beriman telah pasti masuk surga atau neraka kecuali orang-orang yang telah mendapat pengakuan dari Rasulullah bahwa ia masuk surga.
8.       Tidak mengada-ngadakan sesuatu dalam agama kecuali atas izin Allah.
9.       Tidak menisbahkan kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui.
10.   Meyakini bahwa shadaqah dan doa kepada orang mati bermanfaat dan Allah memberi manfaat kepada mayat dengan shadaqah dan doa tersebut.
11.   Meyakini adanya karamah orang-orang shaleh
12.   Tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dengan sebab dosa yang mereka lakukan seperti zina, mencuri, minum khamar dll.
13.   Masalah sifat dua puluh. Para ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah sebenarnya tidak membataskan sifat-sifat kesempurnaan Allah hanya kepada 20 sifat saja. Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah pasti Allah wajib memiliki sekian sifat tersebut, sehingga sifat-sifat kamalat (kesempurnaan dan keagungan) Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada sembilan puluh sembilan saja.
Para Ulama telah membahagikan sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Allah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadis seperti yang terdapat di dalam Asmaul Husna, kepada dua bahagian.
§  Pertama, Sifat Zat yaitu sifat-sifat yang ada pada Zat Allah ta`ala, yang antara lain adalah sifat 20.
§  Kedua, Sifat Af`al, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Allah ta`ala, seperti sifat al-Razzaq, al-Mu`thi, al-Mani`, al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliq dan lain-lain.
Perbedaan antara keduanya adalah, sifat Zat merupakan sifat-sifat yang menjadi Syart al-Uluhiyyah, syarat mutlak ketuhanan, dimana akal tidak menerima satu zat diyakini sebagai tuhan tanpa memiliki sifat-sifat tersebut. Kesemua sifat tersebut telah menyucikan zat Allah ta`ala daripada sebarang sifat yang tidak layak bahkan mustahil untuk disandarkan kepada zat Allah yang Maha Agung.
Hal tersebut berbeda dengan Sifat Af`al, ketika Allah ta`ala memiliki salah satu daripada Sifat Af`al, maka lawan dari sifat tersebut adalah tidak mustahil bagi zat Allah ta`ala, bahkan lawan dari sifat Af’al akan menunjukkan lagi keagungan Allah, kerana mampu menciptakan dua perkara yang berlawanan, seperti;
§  sifat al-Muhyi (Maha Menghidupkan) dan al-Mumit (Maha mematikan)
§  sifat  al-Dhaaru (Maha Memberi Bahaya) dan al-Nafi` (Maha Memberi Manfaat)
§  sifat  al-Mu`thi (Maha Pemberi) dan al-Mani` (Maha Pencegah) dan lain-lain.

Para ulama’ mengatakan bahawa Sifat Af`al adalah baqa’. Dari sekian banyak Sifat Zat, sifat dua puluh sudah cukup dan memadai dalam memberi kefahaman kepada kita bahwa Allah Ta`ala memiliki segala sifat kesempurnaan dan Maha Suci Allah daripada segala sifat kekurangan.
Di samping itu, kesemua Sifat Zat yang telah terangkum dalam sifat dua puluh tersebut, dari sudut fakta, telahpun ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an, Hadits dan dalil-dalil aqli. Sifat dua puluh cukup kuat dan tangguh untuk menjadi benteng aqidah seseorang daripada terpengaruh dengan faham yang keliru atau menyeleweng dalam memahami sifat Allah ta`ala.

Beberapa hal yang mengkafirkan.
Hal-hal yang menyebabkan seorang muslim menjadi kafir adalah semua yang dilakukan secara sengaja yang menunjuki kepada meremehkan agama secara shareh (jelas) baik berupa perkataan atau perbuatan dilakukan karena memang keyakinan, karena keras kepala atau hanya sebagai memperolok-olok.[7]

Contoh keyakinan yang dapat menyebabkan kekufuran.

1.            Bercita-cita menjadi kafir dalam waktu dekat atau lama.
2.            Menolak adanya pencipta alam semesta.
3.  Meyakini tiada sifat yang wajib bagi Allah yang telah disepakati seperti qadim, ilmu dll.
4.  Mengingkari hari kebangkitan
5.            Mengingkari atau ragu terhadap  para Nabi yang telah disepakati kenabiannya.
6.  Mengingkari bahwa Saidina Abu Bakar sebagai Shahabat Nabi.penolakan bahwa Saidina Abu Bakar sebagai Shahabat juga berarti mengingkari Al Quran karena Al quran mengakui beliau sebagai Shahabat Rasulullah.
7.  Mengingkari segala sesuatu yang telah sepakat para ulama baik berupa perintah atau larangan seperti; kewajiban shalat lima waktu, kesunnahan shalat sunat rawatib dan shalat hari raya, halal jual beli, nikah, keharaman zina, khamar, homoseks, liwath
8.  Mengingkari atau menambahkan  satu huruf dari ayat Al Quran yang telah ijmak para ulama.[8]
9.  Bercita-cita supaya Allah menghalalkan sesutu yang tak pernah Allah halalkan pada satu masapun (seperti zina dan membunuh tanpa hak). Adapun mencita-citakan halal sesuatu yang pernah Allah halalkan (seperti khamar) maka tidak menyebabkan kufur.[9]

Contoh perbuataan yang menyebabkan kufur.

1.  Sujud bagi selain Allah secara sukarela dan tidak ada tanda yang menunjuki tidak bermaksud memperolok-olok.[10]
2.  Mencampak mashhaf dalam kotoran (baik najis ataupun tidak) tanpa ozor  dan tidak ada qarinah yang menunjuki bukan bermaksud melecehkan. Sama hukumnya dengan mashaf lembaran yang terdapat tulisan nama Allah dan lembaran ilmu syar`iyah lainnya.[11]
3.          Sihir yang mengandung ritual penyembahan kepada selain Allah.[12]

Contoh perkataan yang dapat menyebabkan kekufuran. [13]

1.  Mengatakan “aku tidak mau melaksanakannya walaupun hukumnya sunat” karena perkataan demikian menunjuki kepada memperolok-olok.[14]
2.  Ridha dengan kufur walupun tidak secara shareh misalnya tidak mau mensyahadatkan orang yang minta disyahadatkan, atau dikatakan terhadap orang yang minta disyahadatkan “bersabarlan sebentar”. contoh lainnya memerintahkan muslim untuk murtad, memerintahkan muslim atau kafir untuk kafir misalnya dikatakan bagi orang kristen ‘’masuklah ke agama yahudi’’.[15]
3.    Menghina, melecehkan, mencela atau mengatakan nabi sebagai pendusta.
4.    Mencela  shabahat Abu Bakar dan Umar menurut satu pendapat.
5.    Mencela shabat Nabi karena kedudukan mereka sebagai shahabat. [16]
6.  Seseorang berkata ‘’seandainya datang Nabi padaku, aku tak akan menerimanya’’.
7.   Atau seseorang berkata ‘’seandainya Allah  menyiksaku padahal aku karena aku meninggalkan shalat padahal aku sakit maka Allah telah berbuat dhalaim padaku’’ atau seseoarang berkata ‘’andaikata para malaikat dan para Nabi atau seluruh kaum muslimin bersaksi bagiku atas sesuatu, maka aku tidak akan mempercayainya’’.[17]
8.  Seseorang berkata ‘‘jika sifulan menjadi Nabi maka aku tidak akan beriman’’  atau perkataan ‘’kalau seandainya Nabi benar kita pasti selamat’’ .[18]
9.  Seseorang ketika mengawali perbuatan maksiat seperti mabuk dan zina mengucapkan bismillah dengan tujuan memperolok-olok nama Allah .[19]
10.  Seseorang berkata ketika diberi satu fatwa hukum ‘’syara` apa ini’’ dengan maksud meremehkan.[20]
Sedangkan mengatakan bahwa ‘’pengajar dari kaum kafir lebih baik dari guru muslim’’ bila dimaksudkan lebih baik secara mutlak maka ia menjadi kafir sedangkan bila dimaksudkan lebih baik dari segi cara mendidiknya atau lainnya ataupun diucapkan secara mutlak tanpa dimaksudkan lebih baik dari segi mana maka tidak mengkafirkan.[21]
Keyakinan bahwa Allah bertempat misalnya di atas arasy atau dilangit tidaklah menyebabkan kufur walaupun dari keyakinan tersebut melazimi bahwa Allah berbentuk, hal ini berdasarkan satu ketentuan hukum  لازم المذهب ليس بمذهب   kecuali bila ia mengkasad lazimnya yaitu Allah baharu atau berbentuk.[22]

Wallahua’lam bish-shawab.
LPI MUDI Mesjid Raya, Samalanga, 29 Jumadil Akhi 1432 H


[1] Nama asli beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy'ari (Wafat 324 H). Beliau adalah seorang ahli hukum (fiqh) dalam mazhab Syafii dan teolog keturunan Abu Musa Al-Asy'ari, seorang sahabat Nabi SAW dan juga periwayat hadits. Diantara karangan beliau adalah kitab Mufid firradd `ala Jahmiyah wal Mu`tazilah, Maqalat Al Islamiyah, dan Al Ibanah.
[2]  Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al Hanafi Al-Maturidi(w.  332H/944 M). Maturid adalah nama satu kampung di Samarqand (sekarang termasuk Uzbekistan), diantara karangan beliau adalah kitab At Tauhid, Al Maqalat, Radd Awail Adillah lil Ka`by, Kitab Bayan Wahmil Mu`tazilah, Ta`wilul Quran dll. Di Bukhara aliran Maturidiyah dikembangkan oleh Abu Al-Yusr Ali Muhammad Al-Bazdawi (421-493 H) dengan sedikit perbedaan dengan Maturidiyah di Samarqand.
[3] Itthaf Sadat Al Muttaqin jilid 2 hal 9 cet. Dar Kutub Ilmiyah.
[4] Ibnu Hajar Al Haitamy. Tathhiru al-Jinan wa al-Lisan hal  371 cetakan Maktabah hakikat Kitabevi, thn 2008.
[5]  Itthaf Sadat Al Muttaqin jilid 2 hal 8 cet. Dar Kutub Ilmiyah.
[6]  Imam Ibnu Hajar, Tathhirul Jinan hal 417 cet. Hakikat Kitabevi
[7] Fathul Muin jilid 4 hal 123 Cet. haramain
[8] Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, hal 352 Kaff Ar Ri`a` cet. Maktabah hakikat Kitabevi.
[9] ….hal 362
[10] Hasyiah i`anatuth Thalibin jilid 4 hal 136. Cet. haramain
[11] …hal 137
[12] Kaff ar Ri`a` hal 349
[13] Fathul mu`in jild 4 hal 123
[14] Kaff ar Ri`a` hal 357
[15] … hal 355
[16] …hal 352
[17] Kaff ar Ri`a` hal 358
[18] …Hal 359
[19] …hal 361
[20] …hal 365
[21] …hal 363
[22] ..hal 365, Imam Ramli, fatawa Imam Ramli jilid  4 hal 20. Cet. Dar Fikr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar