Tafsir


 TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG KEADILAN, KEJUJURAN DAN MORAL
A. Keharusan Adil dan Tidak Memihak Dalam Menetapkan Sesuatu

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْن النَّاسِ ِبمَآ اَرَاكَ اللهُ وَلاَ تَكُنْ لِّلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا  (النساء : ٥.١)
Artinya:  “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.  (QS. An-Nisa : 105)

Asbabun Nuzul

                                    Di dalam keluarga Bani Ubairiq terdapat seorang munafik bernama Busyair yang tingkat sosial ekonominya sangat lemah. Dia tinggal serumah dengan Bisyrin dan Mubasyir. Orang munafik itu pada suatu waktu pernah menggubah syi’ir (puisi) yang isinya mencaci maki Rasulullah SAW dan para sahabat. Dan dia memutarbalikkan fakta dengan mengatakan bahwa syi’ir itu gubahan orang lain. Sementara makanan mereka orang-orang yang lemah ekonominya adalah kurma dan sya’ir (sejenis gandum) yang didatangkan dari Madinah. Sedangkan makanan pokok orang-orang yang mampu pada saat itu adalah tepung terigu.
                                    Pada suatu waktu Rifa’ah bin Zaid—paman Qatadah—membeli beberapa karung terigu yang kemudian disimpan di gudang miliknya, di mana di dalam gudang itu biasa untuk menyimpan alat-alat perang, baju besi, pedang dan lain-lain. Di tengah malam yang gelap gulita gudang tersebut dibongkar orang dan seluruh isinya dicuri. Keesokan harinya Rifa’ah datang kepada Qatadah seraya berkata: “Wahai anak saudaraku, semalam gudang kita dibongkar orang, makanan yang ada dan seluruh senjata yang ada dicuri habis-habisan”. Kemudian kaum muslimin melakukan pelacakan dan penelitian siapa pelaku pencurian itu. Kepada penduduk di sekitar kampung tersebut ditanyakan tentang pelaku pencurian di gudang. Dari keterangan mereka ada yang mengatakan, bahwa semalam Bani Ubairiq mengadakan pestapora, menyalakan api dan memakan tepung terigu  yang dimasak dengan lezat.
                                    Mendengar keterangan yang seperti ini, Bani Ubairiq  mengelak dari tuduhan seraya berkata: “Kami telah mengadakan penyelidikan di sekitar kampung ini, demi Allah, bahwa pencurinya adalah Labid bin Sahlin”. Padahal Labid bin Sahlin adalah seorang muslim yang sangat taat kepada Allah SWT dan jujur, kemuliaan akhlaknya  telah masyhur di kalangan mereka. Ketika Labid bin Sahlin mendengar perkataan Bani Ubairiq ini, mukanya menjadi merah padam, sangat marah. Dengan pedang yang terhunus di tangannya dia pergi menemui Bani Ubairiq seraya berkata: “Kamu telah menuduh aku melakukan pencurian. Demi Allah, pedangku ini akan ikut  berbicara, sehingga dengan jelas dapat ditemukan siapa sebenarnya  pelaku pencurian itu”.  Bani Ubairiq berkata: “Janganlah engkau mengatakan kami menuduhmu, wahai Labid. Bukankah sebenarnya engkau yang melakukan pencurian!”.  
                                    Sementara Rifa’ah dan Qatadah berangkat mencari data yang lebih kongkrit lagi, dan akhirnya dapat diambil kesimpulan berdasarkan fakta dan data, bahwa pelaku pencurian itu adalah Bani Ubairiq. Setelah diketahui secara pasti, Rifa’ah langsung berkata: “Wahai anak saudaraku, bagaimana kalau sekiranya engkau pergi menghadap Rasulullah SAW untuk menceritakan kejadian ini?”. Tanpa menawar lagi Qatadah langsung berangkat menghadap Rasulullah SAW, yang dengan tegas menerangkan bahwa di kampung itu ada satu keluarga yang tidak baik, yaitu mau mencuri makanan dan senjata milik pamannya. Qatadah menyampaikan kepada Rasulullah SAW , bahwa pamannya bernama Rifa’ah hanya menghendaki agar senjatanya saja yang dikembalikan, sedangkan bahan makanannya diikhlaskan untuk dimakan oleh mereka. Sehubungan dengan itu Rasulullah bersabda: “Aku akan mengadakan penelitian lebih dahulu tentang masalah ini”.
                                    Ketika Bani Ubairiq mengetahui bahwa Rasulullah SAW akan mengadakan penelitian tentang kasus pencurian itu, maka Bani Ubairiq segera mendatangi saudaranya yang bernama Asir bin Urwah untuk menceritakan dan mengadukan permasalahan tersebut. Sehubungan dengan itu seluruh masyarakat di kampung  Bani Ubairiq mengadakan perkumpulan untuk bermusyawarah, dan memutuskan untuk menghadap Rasulullah SAW. Setelah mereka berada di hadapan Rasulullah SAW, langsung berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man dan pamannya yang bernama Rifa’ah telah menuduh seorang di antara kami yang berakhlak budi pekerti baik telah melakukan pencurian. Padahal orang yang dituduh itu seorang yang baik hati lagi jujur. Dia menuduh tanpa disertai fakta dan data yang kuat”.
                                    Oleh karena kata-kata Bani Ubairiq tersebut, maka sewaktu Qatadah menghadap Rasulullah SAW beliau langsung bersabda: “Kamu telah menuduh seorang muslim yang baik budi dan jujur melakukan pencurian tanpa dengan fakta yang kuat!”. Kemudian Qatadah pulang dan menyampaikan apa yang terjadi di hadapan Rasulullah SAW kepada pamannya Rifa’ah. Mendengar berita itu Rifa’ah langsung berkata: “Allahul-musta’an = Allah tempat berlindung bagi kita”. Sesaat kemudian Allah SWT langsung menurunkan ayat ke-105 sebagai teguran kepada Rasulullah SAW yang mengadakan pembelaan terhadap Bani Ubairiq yang ternyata berada dalam posisi yang salah.[1]



Tafsir Mufradah

                           الْكِتَابَ  maksudnya, Al-Qur`an.[2]
                           لِتَحْكُمَ بَيْن النَّاسِ ِبمَآ اَرَاكَ اللهُ  maksudnya, Al-Qur`an diturunkan Allah supaya kamu mengadili antara manusia sesuai dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu di dalamnya.[3]
                           وَلاَ تَكُنْ لِّلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا  maksudnya, janganlah kamu menjadi orang yang tidak bersalah untuk membela orang yang berkhianat, seperti Tha’mah bin Ubairiq yang telah mencuri baju besi dari rumah tetangganya, Qatadah.   [4]

Pokok Kandungan Ayat

            Teguran Allah kepada Rasul karena membela orang yang salah.

Kesimpulan

                           Rasulullah SAW telah membela orang-orang yang bersalah karena hanya mendengar keterangan sepihak, kemudian langsung Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai teguran. Seharusnya beliau memeriksa dulu kedua belah pihak, baru menjatuhkan vonis siapa yang bersalah.


يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَآءَ ِللهِ وَلَوْ عَلَى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَاْلاَقْرَبِيْنَ ع اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللهُ اَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُوْا اْلهَوَى اَنْ تَعْدِلُوْا وَاِنْ تَلْوُآ اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ ِبمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا  (النساء : ١٣٥)

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (tergugat atau terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannnya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang  kamu kerjakan”.  (QS. An-Nisa : 135)

Asbabun Nuzul

                           Ayat ke-135 ini diturunkan sehubungan dengan adanya persengketaan antara orang kaya dan orang yang miskin yang datang mengadu kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberikan pembelaan terhadap orang yang miskin lagi fakir, dengan anggapan bahwa orang yang fakir tidak akan berbuat dhalim terhadap orang kaya. Akan tetapi Allah SWT tidak membenarkan cara yang ditempuh Rasulullah SAW itu, dan memerintahkan agar beliau menegakkan keadilan di antara kedua orang  yang bersengketa. Beliau mendapat teguran agar berbuat adil dalam menegakkan hukum terhadap siapa saja.  (HR. Ibnu abi Hatim dari Suddi).[5]


Tafsir Mufradah

                           قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَآءَ  maksudnya, menegakkan keadilan dengan kesaksian yang benar.[6]
                           وَلَوْ عَلَى اَنْفُسِكُمْ  maksudnya, kesaksian yang benar itu sekalipun terhadap diri kamu sendiri. Maka bersaksilah dengan cara mengakui kebenaran berdasarkan fakta sebenarnya dan janganlah yang benar itu disembunyikan.[7]
                           اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَاْلاَقْرَبِيْنَ  maksudnya, walaupun kesaksian yang benar itu terhadap ibu-bapak dan kaum kerabatmu.[8]
                           اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا  maksudnya, jika terdakwa atau tersangka orang kaya atau miskin.[9] Maka haruslah diperlakukan sama di depan hukum demi tegaknya keadilan.
                           فَاللهُ اَوْلَى بِهِمَا  maksudnya, Allah lebih mengetahui kemaslahatannya.[10]
                           فَلاَ تَتَّبِعُوْا اْلهَوَى اَنْ تَعْدِلُوْا  maksudnya, janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu untuk tidak berlaku adil terhadap mereka atas kesaksianmu, yaitu dengan membela orang kaya karena mereka mampu memberikan imbalan kepadamu atau membela orang miskin karena rasa kasihanmu terhadap mereka.[11] Tetapi bersaksilah dengan sebenarnya.
                           وَاِنْ تَلْوُآ اَوْ تُعْرِضُوْا  maksudnya, jika kamu ingin memutarbalikkan fakta atau tidak mau menjadi saksi,[12] maka ketahuilah bahwa Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.


Pokok Kandungan Ayat

            Keadilan dalam kesaksian.


Kesimpulan

                           Ketika seseorang menjadi saksi haruslah berlaku adil dan bersaksi dengan yang sebenarnya tanpa memandang status sosial seseorang terdakwa. Yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah, siapapun dia.
  






B. Kewajiban Berlaku Adil dan Jujur
           
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ ِللهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ صلى وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى اَلاَّ تَعْدِلُوْا قلى اِعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى صلى وَاتَّقُوااللهَ قلى اِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ ِبمَا تَعْمَلُوْنَ  (المائدة : ٨)
Artinya:  “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang  selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah : 8)

Tafsir Mufradah

                           كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ ِللهِ  maksudnya, menegakkan kebenaran karena Allah dengan menjaga hak-hak-Nya,[13] seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain sebagainya.[14]
                           شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ  maksudnya, bersaksi dengan sebenarnya seperti yang terjadi.[15]
                           وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى اَلاَّ تَعْدِلُوْا  maksudnya, janganlah karena kebencianmu dan permusuhanmu terhadap suatu kaum sehingga kamu tidak berlaku adil terhadap mereka.[16]
                           اِعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى  maksudnya, berlaku adillah baik terhadap musuh atau teman, karena adil itu mendekatkan seseorang kepada taqwa[17] dan bahkan menjadi bukti ketaqwaan seseorang. Taqwa di dalam hati dan adil adalah buktinya.[18]
                           وَاتَّقُوااللهَ  maksudnya, bertaqwalah kamu kepada Allah, yaitu menjunjung tinggi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.[19]
                           اِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ ِبمَا تَعْمَلُوْنَ  maksudnya, Allah Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan, maka di akhirat kelak Allah akan membalasnya.[20]


Pokok Kandungan Ayat

               Hak dan kewajiban manusia.

Kesimpulan

                           Hak dan kewajiban manusia di atas dunia ini ada dua, yaitu hak dengan Allah dengan cara beribadah kepada-Nya, dan hak dengan sesama manusia dengan cara berlaku adil kepada mereka.

             

C. Dasar-Dasar Akhlaqul Karimah

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ  (الأعراف : ١٩٩)

Artinya: “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.  (QS. Al-A’raf : 199)



Asbabun Nuzul

                           Orang-orang musyrikin Mekkah telah menyakitkan hati Rasulullah SAW selama sepuluh tahun. Ketika Rasulullah SAW telah berhijrah ke Madinah ingin untuk membalas dendam terhadap mereka dengan mengadakan penyerbuan ke Mekkah. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-199 sebagai perintah agar beliau berakhlak mulia dan memaafkan kesalahan mereka.  (HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Yunus dari Sofyan bin Uyainah dari Uyainah).[21]


Tafsir Mufradah

                           خُذِ الْعَفْوَ  maksudnya, ini merupakan perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk berakhlak mulia dan melakukan hubungan yang baik dengan orang kafir setelah sebelumnya Allah menghardik orang-orang kafir. Menurut satu riwayat tatkala ayat ini diturunkan Allah, Nabi SAW bertanya kepada Jibril AS tentang makna dari ayat ini. Jibril AS menjawab: “Tunggu Muhammad, aku tanya dulu kepada Tuhanku”. Lalu Jibrilpun berangkat untuk bertemu Tuhannya, setelah kembali Jibril berkata: “Hai Muhammad, Tuhanmu memerintahkan engkau untuk menyambung hubungan dengan orang yang telah memutuskan hubungan denganmu, memberikan sesuatu kepada orang yang telah menghambat pemberian kepadamu, memaafkan orang-orang yang telah melakukan penganiayaan terhadapmu”. Memberikan maaf kepada mereka tanpa memeriksa bathin mereka, tapi kita hanya bisa menilai seseorang dari lahirnya saja.[22]
                           وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ  maksudnya, perintahkan mereka untuk mengerjakan yang baik-baik dalam agama.[23]
                           وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ maksudnya, jangan peduli kesalahan yang mereka lakukan. Karena kelakuan mereka akibat kebodohan mereka.[24]


Pokok Kandungan Ayat

               Memberikan maaf dan amar ma’ruf.

Kesimpulan

              Allah menganjurkan Rasulullah SAW untuk bersikap terpuji kepada orang-orang kafir yang telah mengganggu beliau. Mereka melakukan semua itu karena ketidaktahuan mereka.



D. Pokok-Pokok Akhlak yang Baik

اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَآئِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تذَكَّرُوْنَ  (النحل : .٩)

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.  (QS. An-Nahl : 90)


Tafsir Mufradah

                           بِالْعَدْلِ  maksudnya, tauhid atau inshaf.[25] Ibnu Abbas menafsirkannya dengan tauhid, yaitu mengucap dua kalimah syahadah (  ( اشهد أن لآإله إلا الله وأن محمدا رسول الله.[26]
                           Inshaf (sederhana) dalam seluruh aspek: Inshaf dalam bidang tauhid adalah beri’tikad bahwa Allah bersifat dengan sifat kesempurnaan, bersih dari segala kekurangan. Dalam bidang i‘tikad ialah menisbahkan segala perbuatan kepada Allah dan menisbahkan usaha kepada manusia, hal ini berbeda dengan faham Jabbariyah dan Mu’tazilah. Menurut faham Jabbariyah, manusia tiada usaha (perbuatan) samasekali dan menurut akidah mereka manusia ibarat sehelai benang yang digantungkan di dalam angin, dihembus kemana saja sesuai dengan gerak angin, dan manusia tidak memiliki perbuatan samasekali. Jika Allah mengazab manusia berarti Allah telah melakukan aniaya (berbuat zalim). Kelompok ini termasuk dalam kelompok kafir. Adapun kelompok Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan sendiri perbuatannya (usahanya). Mereka ini termasuk ke dalam golongan fasik. Padahal inshaf itu ialah menisbahkan seluruh perbuatan milik Allah, baik atau jahatnya, zahir dan bathinnya. Sedangkan menurut faham ahlussunnah wal jama’ah, semua perbuatan milik Allah dan manusia hanya berusaha saja. Inshaf dalam bidang ibadah ialah tidak terlalu banyak dan tidak terlalu berkurang, tapi sederhana saja. Dan Inshaf dalam bidang nafkah ialah tidak boros dan tidak kikir.[27]
                           وَاْلاِحْسَانِ  maksudnya, menunaikan segala yang fardhu (wajib) atau bahwa engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sebagaimana tersebut dalam hadits:[28] Jibril AS bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Ihsan, maka Rasulullah SAW menjawab: “Ihsan itu ialah bahwa engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia pasti melihatmu”. Artinya, engkau beribadah kepada Allah karena memperhatikan kebesaran-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya dengan mata kepalamu. Ini disebut dengan maqam (level) musyaahadah (kesaksian). Maka jika tak sampai ke level ini, perhatikan dan yakinkanlah bahwa Ia pasti melihatmu dan engkau selalu di sisi-Nya. Ini disebut dengan maqam muraqabah (intip). Perbandingannya, maqam musyaahadah bagaikan orang yang bisa melihat dengan mata kepalanya  yang normal dan sehat, ia duduk-duduk di depan raja dan saling melihat dan memperhatikan. Dan maqam muraqabah bagaikan orang buta yang duduk-duduk di depan raja, ia tidak bisa melihat raja tapi raja bisa melihatnya dengan jelas.
                           Berbuat baik (وَاْلاِحْسَانِ), yakni kepada Allah dan kepada para hamba-Nya. Berbuat baik kepada Allah adalah dengan cara menunaikan segala yang difardhukan secara sempurna. Dan berbuat baik kepada para hamba-Nya ialah dengan memaafkan segala kesalahan yang mereka lakukan, memberikan bantuan kepada mereka yang telah menghambat kita, dan menyambung hubungan dengan orang yang telah memutuskan hubungannya dengan kita.[29]
                           وَاِيْتَآئِ ذِى الْقُرْبَى  maksudnya, memberikan sedekah kepada kaum kerabat. Ini lebih diutamakan daripada bersedekah kepada orang lain karena sedekah kepada kaum kerabat merupakan sarana untuk mempererat hubungan persaudaraan. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya taat yang paling cepat memperoleh balasan (fahala) ialah mempererat hubungan persaudaraan (silaturrahmi)” (Al-Hadits).[30] Makanya, kaum kerabat disebutkan secara khusus dalam ayat ini karena penting penyebutannya,[31] sebagaimana uraian di atas.
                           وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ (dan Allah melarang dari perbuatan keji) maksudnya, zina.[32]
                           وَاْلمُنْكَرِ maksudnya, kufur dan maksiat-maksiat lainnya,[33] termasuk zina yang telah disebutkan secara khusus di atas. Penyebutan lafal ini berpengertian umum setelah disebut lafal yang berpengertian khusus  sebelumnya.[34] Maksudnya, segala macam bentuk maksiat dilarang oleh Allah SWT.
                           وَالْبَغْيِ  maksudnya, melakukan penganiayaan terhadap manusia. Disebutkan secara khusus sebagaimana penyebutan pada pelarangan zina (الْفَحْشَآءِ) karena penting.[35] Pentingnya, yaitu karena tindakan penganiayaan terhadap manusia merupakan maksiat yang paling besar setelah kufur. Oleh karena itu, sebahagian ulama berkata: “Siksaan (azab) yang paling cepat diterima seseorang akibat berbuat maksiat ialah siksaan (azab) akibat melakukan tindakan penganiayaan terhadap manusia”. Dalam satu riwayat Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya salah satu dari dua gunung melakukan penganiayaan terhadap lainnya, maka sungguh Allah akan menghancurkan gunung tersebut akibat penganiayaan yang dilakukan kepada gunung lainnya” (Al-Hadits). Dalam riwayat yang lain beliau bersabda: “Orang yang melakukan penganiayaan dan para pembantunya adalah anjing-anjing neraka” (Al-Hadits).[36]
                           يَعِظُكُمْ    maksudnya, dapat memberi pengajaran kepada manusia dengan perintah dan larangan.[37]
                           لَعَلَّكُمْ تذَكَّرُوْنَ  maksudnya, mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Dalam kitab Mustadrak dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “Ayat ini merupakan ayat yang paling lengkap dalam Al-Qur`an yang menjelaskan tentang kebaikan dan kejahatan”.[38] Menurut sebuah riwayat, Rasulullah SAW membaca ayat ini kepada Al-Walid bin Mughirah, ia berkata: “Ulangi sekali lagi ayat tersebut wahai Muhammad”. Maka Rasul mengulangi lagi ayat tersebut, lalu Al-Walid langsung berkomentar: “Ayat itu sangat sedap dan indah, sangat tinggi mengandung faedah dan sangat rendah mengandung hal-hal yang banyak,  itu bukanlah ucapan manusia, keadaan ayat itu lebih sempurna dan lengkap yang dipakai oleh para khatib dalam khutbahnya”.[39]


Pokok Kandungan Ayat

               Kumpulan amalan kebaikan dan kejahatan.

Kesimpulan

                           Ayat ini mengandung segala macam amalan kebaikan dan kejahatan yang bisa menjadi pelajaran bagi umat manusia  dalam menempuh kehidupan alam dunia.


وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلاً قلى اِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ  (النحل : ٩١)
Artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.  (QS. An-Nahl : 91)


Asbabun Nuzul

            Ketika itu, Rasulullah SAW apabila menerima seseorang memeluk agama Islam langsung dibai’at (diadakan janji setia). Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke-91 dan 92 sebagai ketegasan bahwa bagi mereka yang sudah berbai’at dengan Rasulullah SAW jangan sekali-kali mengingkari bai’at itu. Jangan seperti wanita yang merajut pintalan benang dengan kokoh kemudian merusaknya kembali. Sungguh perbuatan sia-sia. Ini gambaran bagi orang yang sudah bai’at kemudian kembali ke kufuran. 
      (HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir dari Buraidah).[40]

            Ayat ke-91 diturunkan untuk memberi perintah agar kaum muslimin berbai’at kepada Rasulullah SAW. Yakni berjanji setia untuk mempertahankan panji-panji Islam dan memeluk Islam dengan penuh konsekuen. 
   (HR. Ibnu Jarir dari Abu Laili dari Buraidah).[41]

            Sa’idah al-As’adiyah, seorang majnun (gila) yang pekerjaannya hanya menggelung dan mengurai rambut terus-menerus, tidak bosan melakukan bongkar pasang. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat ke-92 sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang telah mengikat perjanjian kemudian mengingkarinya. Mereka tak lebih adalah orang majnun yang menggelung rambut kemudian mengurainya kembali. Tak lebih seperti Sa’idah al-As’adiyah. 
         (HR. Ibnu Abi Hatim dari Abu Bakar bin Hafshin).[42]


Tafsir Mufradah

وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ  maksudnya, dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dengan cara berjanji setia (bai’at), sumpah-sumpah dan lain-lain,[43]           seperti janji-janji. Maksudnya ialah segala sesuatu yang mesti ditunaikan oleh manusia, baik itu yang diwajibkan oleh Allah Swt maupun kewajiban yang dibebankan oleh seseorang terhadapnya, seperti ikatan janji dengan seorang guru yang memerintahkan muridnya untuk mengerjakan sesuatu. Maka, si murid wajib taat kepadanya selama yang diperintahkan itu masih dalam koridor syara’ dan tidak bertentangan antara perintah guru dengan perintah Allah. Dan juga guru berakhlak mulia dan perbuatannya benar.[44] Jadi, apa yang diperintahkan guru wajib ditaati karena Allah Swt memerintahkan manusia untuk taat kepada guru. Dengan taat kepada guru, berarti taat kepada Allah Swt.
Maksud dengan janji setia (bai’at) ialah janji setia atas segala perintah syara’ (Allah dan Rasul-Nya) untuk mentaatinya.[45] Janji ini diucapkan oleh semua manusia semenjak di alam sulbi Nabi Adam AS setelah dikeluarkan semua benih manusia di hadapan Allah Swt. Hal ini seperti yang termaktub d dalam QS. Al-A’raf : 172. Kemudian untuk mengingatkan kembali akan janji yang telah terucap tersebut, Allah Swt mengutuskan Rasul-rasul-Nya.
Maksud dengan sumpah ialah segala janji yang diucapkan manusia dengan memakai nama-nama Allah (Asmaul Husna) dan sifat-sifat-Nya (sifat dua puluh), seperti demi Allah, demi Rahman, demi Wujud, demi Wahdaniyah dan lain-lain. Maka, janganlah dilanggar sumpah itu selama ada unsur kemaslahatan padanya. Tapi jika tidak ada kemaslahatan padanya, bahkan kemaslahatan ada pada sebaliknya, maka melanggar lebih baik. Hal ini berdasarkan Sabda Rasulullah Saw : "Barangsiapa yang bersumpah, lalu ia melihat sebaliknya yang lebih baik, maka hendaklah ia mengambil kebaikannya (dengan melanggar sumpah) dan membayar kafarahnya".[46] 
 وَلاَ تَنْقُضُوا اْلاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا maksudnya, dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya.[47]
 وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلاً maksudnya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu terhadap sumpah-sumpah itu dengan memakai nama Allah atau sifat-Nya ketika bersumpah.[48]
اِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ  maksudnya, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Ini sebagai peringatan keras kepada manusia supaya tidak membatalkan sumpah dan janji setia mereka.[49]


Pokok Kandungan Ayat

            Janji dan sumpah yang telah diucapkan dijaga dengan baik.


Kesimpulan

            Semua manusia telah berjanji untuk menunaikan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, maka manusia tidak boleh melanggar janji tersebut. Dan bila manusia bersumpah, maka wajib dijaga sumpahnya dengan tidak dilanggar, kecuali jika ada kebaikan pada melanggarnya. Maka, lebih baik dilanggar dan membayar kafarahnya, yakni dengan berpuasa tiga hari atau memberikan makanan kepada sepuluh orang fakir/miskin atau memberi pakaian kepada sepuluh orang mereka. 
وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًا قلى  تَتَّخِذُوْنَ اَيْمَانَكُمْ دَخَلاً بَيْنَكُمْ اَنْ تَكُوْنَ اُمَّةٌ هِيَ اَرْبَى مِنْ اُمَّةٍ قلى اِنَّمَا يَبْلُوْكُمُ اللهُ بِه وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ (النحل : ٩٢)
Artinya: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu”.  (QS. An-Nahl : 92)


Tafsir Mufradah

وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًا  maksudnya, dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Dia itu seorang perempuan idiot di kota Mekkah yang memintal benang sepanjang hari kemudian menguraikannya kembali (pada sore hari).[50]
Maksudnya, janganlah membatalkan janji yang telah diucapkan kapada sang Khalik (Allah Swt) ataupun janji yang diucapkan kepada makhluk (sesama manusia) pada bukan jalan maksiat kepada Allah. Kalau janji itu dibatalkan, maka sama seperti perempuan yang menguraikan benang yang telah dipintalnya dengan susah payah sepanjang hari.[51]
Perempuan pemintal benang itu bernama Raithah binti Sa’ad bin Tamim Qursyiyyah. Ia memintal benang seukuran hasta panjangnya, ujungnya sebesar jari tangan dan ukuran besarnya lebih besar dari ujungnya. Ia memintal benang tersebut bersama beberapa perempuan tetangganya sejak pagi hari sampai tengah hari (waktu zhuhur). Kemudian ia memerintahkan mereka untuk menguraikannya kembali.[52]
  تَتَّخِذُوْنَ اَيْمَانَكُمْ دَخَلاً بَيْنَكُمْ maksudnya, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu. Artinya, janganlah kamu seperti perempuan pemintal benang yang menguraikan kembali pintalannya. Maka, janganlah dijadikan sumpah sebagai alat penipu dengan membatalkannya.[53]
 اَنْ تَكُوْنَ اُمَّةٌ هِيَ اَرْبَى مِنْ اُمَّةٍ maksudnya, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Orang-orang Quraisy bersumpah dan berjanji setia dengan sesamanya, tapi bila mereka mendapatkan kelompok yang lebih banyak (harta atau pangkat kemegahan dari mereka) dan lebih hebat kedudukannya menurut mereka, maka mereka membelot dan mengingkari sumpah dan janji yang telah mereka ucapkan sebelumnya.[54]
Kata Syeikh Ahmad Ash-Shawi: Hal ini bisa kita saksikan pada zaman kita bahwa orang-orang akan dekat dengan para pejabat selama mereka menjabat. Tapi bila mereka telah dipecat atau habis masa jabatannya, orang-orangpun akan berpaling darinya seolah-olah mereka tidak pernah kenal sebelumnya. Ilustrasi ini bukanlah bahagian daripada sumpah, tetapi sumpah ialah berjanji dengan sungguh-sungguh dan tidak membatalkannya selama tidak terjerumus ke jalan maksiat.[55] Begitu juga yang terlihat pada zaman kita sekarang ini, orang akrab dan berjanji setia dengan pejabat selama mereka punya kepentingan. Kalau tidak lagi berkepentingan mereka akan berpaling.
اِنَّمَا يَبْلُوْكُمُ اللهُ بِه  maksudnya, sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu, yakni dengan memerintahkan kita untuk menunaikan janji-janji yang telah diucapkan supaya terlihat orang yang taat (dengan konsisten pada janjinya) dengan orang yang maksiat (dengan mengingkari janjinya) atau dengan kelompok yang banyak, apakah akan terpengaruh (dengan mengingkari janjinya) atau tidak (dengan tetap konsisten pada janjnya) ?.[56]
 وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ maksudnya, dan sesungguhnya di hari kiamat kelak akan diperjelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan di dunia dengan menepati janji-janji yang telah diucapkan atau mengingkarinya. Maka Allah Swt akan mengazab orang-orang yang mengingkari janji dan melimpahkan rahmat (balasan) bagi orang yang konsisten memelihara dan menunaikan janji-janjinya.[57]


Pokok Kandungan Ayat

            Jangan mengingkari janji dan jangan dijadikan janji sebagai alat penipu.

Kesimpulan

           Jangan mengingkari janji yang telah diucapkan kepada siapapun, terutama janji kepada Allah dan jangan pula menjadikan  janji sebagai alat untuk menipu orang lain. Juga jangan karena ingin meraih materi duniawi janji dirusakkan untuk mencapai tujuannya, karena Allah Swt akan meminta  pertanggungjawaban kelak pada hari akhirat.

A.    Beberapa Ajaran Tentang Moral

وَلاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ô لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ قلى وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّاَبْقَى  (طه : ١٣١)
Artinya: “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka,  sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal”.  (QS. Thaha : 131)
Asbabun Nuzul

            Pada suatu waktu ada tamu menghadap Rasulullah SAW. Beliau menyuruh Abi Rafi’ meminjam terigu kepada orang Yahudi, yang akan dibayar pada bulan Rajab. Orang Yahudi itu berkata : ”Aku tidak bisa memberinya kecuali dengan jaminan”. Maka Abi Rafi’ pulang menghadap Rasulullah SAW, beliau menyampaikan apa yang dikatakan orang Yahudi tersebut. Maka Rasulullah SAW  bersabda:  ”Demi Allah, aku dikenal sebagai orang yang paling jujur di dunia ini”. Dan Abi Rafi’ diperintahkan kembali kepada orang Yahudi itu. Sebelum ia berangkat, Allah SWT menurunkan ayat ke-131 sebagai larangan mengharapkan sesuatu dari golongan di luar Islam.  (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Marduwaih, Bazzar dan Abu Ya’la dari Abi Rafi’).[58]


Tafsir Mufradah

وَلاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ   maksudnya, dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka,  sebagai bunga kehidupan dunia dan keindahannya untuk kami cobai mereka dengan sebab mereka melampaui batas di dalamnya.[59]
Maksudnya, jangan engkau perhatikan mereka yang diberikan kesenangan hidup dunia dengan perhatian yang memunculkan rasa suka seperti mereka. Karena dunia berputar bagaikan roda di kalangan manusia, sekali mulia (berada di atas)  dan sekali yang lain hina (berada di bawah), begitulah seterusnya.[60]
وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّاَبْقَى  maksudnya, dan karunia Tuhan kamu di dalam surga adalah lebih baik daripada yang diberikan kepada golongan manusia di dunia dan lebih kekal untuk selama-lamanya.[61]
Maka, hendaknya manusia lebih menyibukkan diri untuk meraih yang terbaik dan kekal untuk selamanya, yaitu surga serta nikmatnya. Dan meninggalkan hal yang akan hancur binasa, yakni dunia serta kesenagannya.[62]

Pokok Kandungan Ayat

            Diantara akhlak yang baik ialah tidak tertarik hatinya pada kesenangan dunia.       

Kesimpulan

            Jangan melihat orang lain yang diberikan kesenangan di dalam meraih hidup dan kehidupan dunia oleh Allah sehingga membuat hatinya tertarik untuk memiliki seperti yang mereka miliki. Karena kesenangan dunia hanya sementara tetapi surga dan nikmatnya itulah yang kekal abadi. Tertarik pada kesenangan dunia seperti yang dimiliki orang lain adalah pangkal segala kejahatan.


[1] Mahalli, Asbabun Nuzul..., hal. 272-273
[2] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Mahalli, Asbabun Nuzul..., hal. 282
[6] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir…, Juz I, hal. 333
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid
[13] Ibid, hal. 360
[14] Ash-Shawi, Hasyiah…, hal. 360
                [15] Ibid.   
[16] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir
[17] Ibid.
[18] Ash-Shawi, Hasyiah…
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Mahalli, Asbabun Nuzul..., hal. 400
[22] Ash-Shawi, Hasyiah…, Juz II, hal. 139
[23] Ibid.
[24] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir, Juz II, hal. 139
[25] Ibid, hal. 401
[26] Ash-Shawi, Hasyiah…, hal. 401
[27] Ibid.
[28] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir, hal. 401
[29] Ash-Shawi, Hasyiah…, hal. 401-402
[30] Ibid, hal. 402
[31] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir…, hal. 402
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Ash-Shawi, Hasyiah…
[35] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir
[36] Ash-Shawi, Hasyiah…
[37] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir
[38] Ibid.
[39] Ash-Shawi, Hasyiah…
[40] Mahalli, Asbabun Nuzul..., hal. 533
[41] Jalaluddin As-Suyuthi, Lubab An-Nuqul fi Asbab An-Nuzul, Juz II (Beirut : Daar Al-Fikr, 1993), hal. 402.
[42] Ibid, hal. 403
[43] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir…, hal. 402
[44] Ash-Shawi, Hasyiah…, hal. 402
[45] Ibid.
[46] Ibid.
[47] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir
[48] Ibid.
[49] Ibid., hal. 402-403
[50] Ibid., hal. 403
[51] Ash-Shawi, Hasyiah…, hal. 403
[52] Ibid.
[53] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir
[54] Ibid.
[55] Ash-Shawi, Hasyiah…
[56] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir
[57] Ibid.
[58] As-Suyuthi, Lubab An-Nuqul…., Juz III, hal. 84.
[59] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir…, Juz III, hal. 84.
[60] Ash-Shawi, Hasyiah…, Juz III, hal. 84.
[61] Al -Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir
[62] Ash-Shawi, Hasyiah…